Jakarta, Metro Indonesia – Ekonomi dunia tengah berada di bibir jurang resesi. Beberapa negara maju telah menunjukkan gejala resesi, termasuk Eropa, Inggris dan Amerika Serikat (AS).
Kenaikan inflasi yang sangat tinggi di negara maju, yang diikuti respons kebijakan moneter luar biasa dan likuiditas ketat memacu apa yang disebut capital outflow dan volatilitas di sektor keuangan.
Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan proyeksi ekonomi global dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen untuk tahun ini dan dari 3,6 persen menjadi 2,9 persen untuk tahun 2023.
Kondisi ini akan menekan negara berkembang, termasuk Indonesia. Indonesia bisa berbangga hati tumbuh 5,44% pada kuartal II-2022, namun tantangan ke depan akan luar biasa.
Ekonom Senior Chatib Basri mengingatkan implikasi jika dunia mengalami resesi, termasuk AS, Eropa dan lainnya, maka ekspor Indonesia akan terdampak karena permintaan yang turun. Jika permintaan turun, otomatis harga komoditas akan melemah.
“Jadi, ekspor kita akan turun karena dua hal, slowdown karena global resesi, dan kedua penurunan harga-harga kecuali batubara. Implikasinya adalah global ekonominya pasti turun. Ini yang angkanya IMF, bisa dilihat semua negara itu di revise down, atau negatif,” kata Chatib dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Jumat (7/10/2022).
Efek rambatan turunnya ekspor ini akan sangat kuat jika Eropa, terutama Jerman, mengalami resesi. Menurut Chatib, ketika Eropa resesi, ekspor China akan terdampak. Sementara itu, partner dagang terbesar Indonesia adalah China.
“Kalau China slowdown, maka permintaan harga dari komoditas pasti akan turun,” ujarnya.
“Padahal 60% ekspor kita adalah energi komoditas, ekonomi Indonesia pasti akan kena. Jadi, itu yang disebut sebagai trade channel,” tegas Chatib.
Di sisi lain, dalam kondisi ini, Indonesia akan terimbas oleh fenomena ‘strong dollar’.
Fenomena keperkasaan dolar AS atau ‘strong dollar’ dapat menimbulkan dampak buruk bagi perusahaan-perusahaan di Tanah Air yang utangnya menggunakan mata uang Negeri Paman Sam tersebut.
Chatib mengungkapkan fenomena strong dollar dipicu oleh tiga hal. Pertama adalah pertumbuhan ekonomi AS yang slowdown masih lebih baik jika dibandingkan Eropa.
Kedua, tidak banyak pihak yang sadar, AS sudah menjadi net exporter komoditas energi saat ini. Jika harga komoditas energi naik, otomatis dolar akan terkerek naik.
Ketiga, kenaikan suku bunga oleh Federal Reserve akan menarik dolar di pasar global kembali ke AS.
“Jadi dengan begini, kita akan berhadapan dengan strong dollar. Kalau strong dollar terjadi akan ada efek yang disebut sebagai balance sheet effect atau efek neraca,” tegas Chatib.
Perusahaan-perusahaan di dalam negeri dengan utang dalam dolar akan mengalami peningkatan beban karena utangnya menjadi mahal. Ketika beban utang mahal, porsi investasi akan turun.
“Kalau porsi investasi turun, dia kontraktif,” ujarnya.
Chatib menggarisbawahi sebagian besar perusahaan asing di Indonesia memiliki orientasi bisnis ke pasar domestik. Jika demikian, pendapatan perusahaan asing dicatat dalam rupiah. Sementara itu, perusahaan asing harus melakukan repatriasi keuntungan dalam dolar AS.
Dalam kondisi penguatan dolar, keuntungannya akan turun. “Gak tertarik dong, investor untuk tambah investasinya di sini atau kedua, kalau dia mau tetap lebih besar (pendapatannya) dalam US dollar, dalam rupiahnya harus lebih besar. Berarti posisi investasinya akan turun,” jelasnya.
“Jadi penguatan dolar akan menimbulkan efek balance sheet, efek neraca, dimana perusahaan kontraktif,” tegas Chatib.
Oleh karena itu, dia melihat sulit ekonomi Indonesia mengandalkan sektor swasta ke depannya karena ada efek neraca, ditambah dengan tren kenaikan suku bunga acuan.
Kemudian, Chatib mengkhawatirkan risiko likuiditas ketat di pasar keuangan yang dipicu oleh kehati-hatian perbankan dalam menghadapi lonjakan nonperforming loan (NPL).
Menurutnya, ketika OJK melepas insentif restrukturisasi pada 2023, maka NPL akan naik.
“Kan di 2023, OJK akan selesai relaksasi…NPL-nya sekarang rendah sebesar 4%, tapi loan risk-nya tinggi 18%, kredit yang dianggap berisiko,” ujar Chatib dalam wawancara bersama CNBC Indonesia, dikutip Kamis (6/10/2022).
“Kalau benar-benar diterapkan normalisasi, mungkin NPL-nya akan naik,” tambah Chatib.
Seperti diketahui, pada masa pandemi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan kebijakan restrukturisasi. Kebijakan ini telah berlaku sejak Maret 2020 dan akan berakhir Maret 2023.
Dikutip dari data OJK dan Bank Mandiri, jumlah loan at risk (LAR) per Juli 2022 telah turun sebesar Rp 192 triliun sehingga total saat ini menjadi Rp 1.059 triliun.
Meskipun turun, nilainya masih cukup besar dibandingkan posisi April 2020, sebesar Rp 751 triliun. Sejalan dengan penurunan LAR, posisi rasio restrukturisasi kredit juga turun menjadi 9,10% atau nominalnya Rp 560 triliun, lebih baik dari posisi Desember 2021.
Namun, masih lebih tinggi dibandingkan rasio April 2020, sebesar 3,62%.
Dengan tingkat NPL yang tinggi, perbankan akan selektif menyalurkan kredit ke depannya. Saat ini, di tengah tren penurunan harga obligasi, dia melihat bank akan enggan menjual kepemilikan obligasinya.
“Dia (bank) akan keep bond-nya, ini akan maturity aja.” Kondisi ini yang diyakini Chatib akan memperketat likuiditas.
“Dia tidak mau pakai untuk lending. Kalau jual bond, dia lending, malah dia loss,” kata Chatib yang juga merupakan Komisaris Utama Bank Mandiri.
Suka tidak suka, kondisi Indonesia pada tahun depan tetap penuh tantangan. Terlebih lagi ketika, pemerintah sudah menetapkan normalisasi defisit di bawah 3% harus tercapai pada 2023.
Padahal, menurut Chatib, di tengah tekanan ekonomi tersebut, fiskal sangat dibutuhkan. Tetapi hal ini sulit karena ruang fiskal yang terbatas.
“Jadi kamu bisa bayangin, ekspornya turun, tapi relatively down. Ada strong dollar yang punya efek ke neraca dan perbankan di pasar keuangan akan tight, dengan kondisi kayak gini, mau gak mau growth akan slowdown,” ungkap Chatib.
Namun, dengan tekanan ini, dia meyakini Indonesia tidak akan sampai resesi pada tahun depan. Dia melihat ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh sedikit di bawah 5%. “Tahun ini kita bisa tumbuh di 5,2%, tahun depan mungkin sekitar 4%,” ujarnya.
Dampak guncangan global terhadap ekspor Indonesia, lanjutnya, tidak akan besar. Pasalnya, kontribusi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%.
Alhasil, ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.
“Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slowdown, tapi tidak resesi. Makanya somehow, kita butuh domestic demand kalau ekonomi global kena,” ujar Chatib.
Dalam asumsi makro APBN 2023, pemerintah memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5.3%. Laju inflasi dipatok 3,6% dan nilai tukar sebesar Rp 14.800 terhadap dolar AS. Ini adalah asumsi makro yang sulit di tengah tantangan yang semakin besar pada tahun depan.