Divisi Hukum PWRI Desak Ketua PWI Purworejo Klarifikasi Terkait Ucapan PWRI Tidak Resmi

Bagikan

Purworejo (Metro Indonesia) — Terkait adanya statemen dari Ketua PWI Purworejo yang mengatakan, bahwa organisasi wartawan Indonesia yang resmi itu adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) bukan Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) menuai tanggapan dari Devisi Investigasi Advokasi Hukum dan HAM Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Purworejo Sumakmun.

Sumakmun menyampaikan, dirinya sangat menyayangkan ketika kemarin ada acara resmi pengukuhan pewarta Purworejo, pertemuan yang dihadiri pejabat-pejabat tinggi Purworejo bahkan juga dihadiri Plt Bupati Purworejo, ketua PWI Purworejo Aris Himawan menyampaikan statemen yang terkesan mendiskreditkan sebuah organisasi yang sudah dilegalisasi negara melalui kemenkumham, dalam statemennya yang mengatakan bahwa PWRI bukan organisasi resmi.

Sumakmun sangat menyayangkan statemen tersebut karena bisa berpotensi membuat gaduh apalagi menjelang tahun politik. Statemen yang disampaikan didepan forum resmi, forum umum, forum publik itu mestinya yang sejuk yang bisa membangkitkan kebersamaan antar organisasi kewartawanan bukan malah seolah olah membuat celah perpecahan.

“Pada pertemuan itu ketua PWI Purworejo Aris Himawan mengatakan bahwa PWRI itu bukan organisasi resmi kewartawanan, yang kemudian berlanjut mengatakan bahwa Persatuan Wartawan Republik Indonesia atau PWRI itu bukan organisasi resmi yang diakui oleh Dewan Pers,” tegas Makmun saat konferensi pers di kantornya Jl. Dewi Sartika 24 Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, Sabtu (25/11/2023).

Makmun mengungkapkan, seharusnya sebagai Ketua Persatuan Wartawan Indonesia itu tidak patut menyampaikan seperti itu mengingat anggota Persatuan Wartawan Republik Indonesia itu tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, juga statemen yang ikut mencampuri wilayah rumah tangga organisasi lain dimana PWRI itu organisasi kewartawanan yang keberadaannya jelas-jelas diakui negara.

“Jadi jangan sampai kita seolah-olah merasa benar sendiri dan menganggap organisasi lain itu tidak resmi, mestinya yang berhak menyampaikan resmi atau tidak resmi itu putusan hukum bukan seorang Aris Himawan, dan menurut saya kalau organisasi itu sudah disahkan oleh negara itu legal standingnya jelas, jangan merendahkan atau meremehkan organisasi yang sudah disahkan oleh negara,” jelasnya.

“Kedua kita harus tahu perjalanan sejarah berdirinya pers itu sendiri, dulu pers ataupun wartawan menulis berita itu untuk melawan pemerintah kolonial belanda, dan sekarang perjuangan pers itu untuk membantu negara mewujudkan keadilan dan kebenaran di masyarakat, jadi kita harus tau betul asbabun nuzulnya, historinya, konstitusinya juga per Undangannya agar supaya tidak mudah membuat statemen yang bisa berdampak merugikan organisasi pers yang lain,” ungkapnya.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sekarang lawan bukan lagi pemerintahan kolonial belanda tapi mestinya pemerintahan yang zalim yang korup yang merugikan rakyat.

“Saya minta untuk supaya bisa ketemu mengklarifikasi statementnya yang dikatakan tidak resmi itu, tidak resminya seperti apa coba jelaskan, kalau perlu diruang publik supaya masyarakat tahu yang resmi seperti apa yang tidak resmi seperti apa,” tegasnya.

Terkait dengan PWRI yang dikatakan tidak terverifikasi Dewan PERS atau belum itu dipersilahkan kalau memang dari Dewan Pers mengeluarkan surat semisal bahwa PWRI itu organisasi kewartawanan tidak resmi ia pingin tahu itu.

“Saya hanya menyesalkan bahwa yang menyampaikan organisasi kewartawanan PWRI tidak resmi kok keluar dari statemen seorang ketua PWI Purworejo bukan dari pejabat negara dan yang mempunyai kewenangan baik itu secara lisan atau tertulis, seharusnya ketika kita bicara perundangan PWRI itu telah dilegalisasi oleh pemerintah sudah dilegalisasi oleh Kemenkumham tercatat di Kesbangpol dan Kominfo Kabupaten Purworejo kenapa dikatakan tidak resmi,” ungkapnya.

Kemudian adanya statemen untuk dinas dinas ketika ada wartawan yang belum terverifikasi mereka akan pasang badan untuk upaya hak jawabnya, statemen seperti itu tidak elok, seolah olah mau membentur benturkan antara wartawan dengan kedinasan. “Saran saya pelajari sejarah pers sebelum di undangkannya pasal 40 tahun 1999 tentang pers itu, adakah pasal didalam UUD’45 yang menjadi reverensinya juga baca konstitusinya biar lebih bijaksana dalam bersikap dan bertutur kata,” pungkasnya.

(BS/MI)