Yogyakarta (Metro Indonesia) — Sejak kami masih kuliah di STSRI ASRI Gampingan. Saya sering nonton beliau melatih Teater murid-muridnya di pendopo Timbul Busono sebelah Timur kampus STSRI ASRI (sekarang jadi Jogja National Musium JNM).
Beliau sangat disiplin dan keras dalam mendidik cantrik-cantrik Teater Alam. Dengan suaranya yang lantang dan tegas jika ada kesalahan sedikit saaja pasti akan dimarahi habis-habisan.
Selain itu saya waktu masih Mahasiswa dan Kost ditimurnya Bapak AMRI YAHYA Pelukis Batik dan Kaligrafi itu, saya aktif dipengajian yang diadakan oleh keluarga Pak Amri Yahya, kebetulan saya jadi penata Dekor disetiap efen dipendoponya.
Dirumah Bapak Amri Yahya itulah saya sering bertemu bertatap muka diskusi sambil bersenda gurau dengan Abangda Datuk AZWAR AN. Beliau sering memberi nasehat kepada saya, bahwa: Jika ingin menjadi Seniman yang sukses, tekunilah dengan betul-betul. Jangan cepat menyerah kalah ataupun mengeluh. Hadapilah kesulitan-Kesulitan yang ada didepan kita karena dibalik kesulitan itu ada hikmah yang terkandung didalamnya. Jadilah orang yg bermanfaat bagi orang-orang dan kehidupan yang ada di sekitarmu.
Beberapa Nasehat dari Abangda Datuk AZWAR AN itu yang selalu mengiang ditelingaku dan selalu memberi Energy spirit untuk kami melangkah maju menghadapi kehidupan dengan riang gembira dan tetap bersemangat. (Laporan Maya Intan K).
Perjalanan Azwar A.N :
Dilansir dari buku biografi Azwar A. N. yang berjudul “Berguru pada Peran-Peran Kehidupan”, seniman yang lahir di Palembang pada 6 Agustus 1937 silam ini memiliki nama lengkap Adhikrama Azwar A. N., atau lebih dikenal dengan nama Azwar A N. Semasa kecil, beliau sudah memiliki cita-cita untuk menggeluti bidang kesenian, khususnya teater.
Menapaki dunia teater, Azwar AN mengawalinya pada 1954 dengan bergabung dengan Teater Raden Intan. Pada 1958, ia memutuskan hijrah ke Yogyakarta. Di sana, ia juga akrab bertemu dengan seniman Teater Indonesia, seperti Nasyah Jamin, Maruli Sitompul, Danarto, dan Imam Sutrisno. Selain itu, ia bertemu dengan Nya Abbas Akup, guru yang mengangkatnya sebagai asisten sutradara kala itu.
Selanjutnya Azwar bergabung dengan Teater PWI Yogyakarta. Beberapa karyanya yang berhasil ia sutradarai berjudul “Badai Asmara dan “Nan Tungga Magek Jabang”. Lalu, pada 1967, Azwar bersama W.S. Rendra sepakat membentuk sanggar teater bernama “Bengkel Teater”.
Karya-karyanya bersama Rendra antara lain: “Mini Kata”, “Oedipus Rex”, “Hamlet”, “Machbet”, “Qasidah Al Barzanji”, hingga “Modom-Modom”. Melalui sanggar Bengkel Teater, telah membuka peluang bagi siapapun untuk bergabung dan sebagai wadah untuk berkesenian teater.
Namun, di tahun 1971, secara mengejutkan Azwar memutuskan keluar dari Bengkel Teater dan membentuk sanggar teater sendiri bernama Teater Alam. Dari 1972 hingga tahun 1985 kiprah Azwar di Teater Alam menularkan banyak karya-karya teaternya di antaranya: “Di Atas Langit Ada Langit”, “Si Bakhil”, “Ketika Bumi Tak Beredar”, “Pengantin di Bukit Kera”, dan masih banyak lagi.
Melansir dari filmindonesia.or.id, Azwar pernah terjun dalam dunia film saat ia menjadi asisten sutradara dalam Bing Slamet Koboi Cengeng (1974). Pun jadi penulis skenario dalam film Kampus Biru (1976). Dan mulai jadi sutradara dalam Gara-Gara Janda Kaya (1977).
Selain di dalam, ia juga aktif di organisasi, dengan menjabat Ketua Cabang Parfi Yogyakarta. Dan masih sempat juga jadi dosen teater di ISI Yogyakarta serta Ketua Teater Alam Yogyakarta. Masuk juga ke dunia sinetron dengan menyutradarai Nyi Mas Mirah (1986) produksi TVRI.
Di akhir hayatnya, yakni di usianya yang ke-83 tahun, Azwar masih berusaha menyutradarai pementasan teater Oedipus Rex oleh Teater Alam tahun 2020 di Taman Budaya Yogyakarta. Dalam kesempatan itu pula, Azwar mengungkapkan bahwa teater adalah jalan hidup yang tak akan ditinggalkannya.
(Editor : Sumadi/MI)