Jakarta, (Metro Indonesia) – Resesi tengah menjadi isu menakutkan di berbagai belahan dunia. Dampaknya pun cukup besar ke pasar finansial. Wall Street sebagai kiblat bursa saham dunia ambrol, begitu juga dengan mata uang selain dolar Amerika Serikat (AS).
Melansir data Refinitiv, indeks S&P 500 sepanjang tahun ini sudah jeblok lebih dari 25%, dan berada di level terendah sejak akhir 2020.
Sementara itu indeks dolar AS melesat sekitar 17% dan berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Meroketnya indeks dolar AS tersebut menjadi indikasi mata uang lainnya rontok.
Ketika resesi misalnya, tingkat pengangguran akan tinggi tetapi inflasi rendah. Sebab, ketika banyak warga yang menganggur maka konsumsi rumah tangga akan menurun, demand pull inflation pun rendah.
Pasar tenaga kerja saat ini masih terlihat kuat, bahkan di beberapa negara seperti Australia justru mengalami kelangkaan tenaga kerja.
Stagflasi lebih sulit “disembuhkan” ketimbang resesi. Sebab, para pembuat kebijakan harus bisa menyeimbangkan antara inflasi dan pasar tenaga kerja.
Ketika inflasi tinggi maka suku bunga akan dikerek naik, tetapi risikonya pasar tenaga akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah, tetapi risikonya inflasi akan meningkat.
Yang menarik, “obat” stagflasi yang paling mujarab adalah resesi.
“Satu-satunya obat untuk stagflasi adalah resesi,” kata David Wilcox, ekonom senior di Perterson Institute for International Economics, sebagimana dilansir The Washington Post, awal Juni lalu seperti dikutip dari CNBC Indonesia.
Ketika resesi terjadi permintaan juga akan melambat dan perlahan-lahan menurunkan inflasi.
Negara-negara Barat kini menjadi yang paling berisiko mengalami stagflasi. Inflasi di Amerika Serikat (AS) dan Ingggris berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Di Zona Euro, yang terdiri dari 19 negara, inflasi bahkan mencatat rekor tertinggi sepanjang masa.
Inflasi yang tinggi juga melanda belahan bumi lainnya. Australia misalnya, kemudian Singapura.
Di Indonesia sejauh ini inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali. Namun, patut menjadi perhatian bagaimana perkembangan inflasi ke depannya, apalagi setelah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Selain itu, bank sentral AS (The Fed) dan beberapa bank sentral lainnya pada akhir tahun lalu melihat inflasi tinggi hanya bersifat sementara, sehingga menunda pengetatan moneter guna meredam inflasi. Alhasil, inflasi malah terus meroket.
(SMd/MI)