Setuju ibu GKR Hemas, Tinjau Ulang Izin Tambang

Bagikan

GKR HEMAS: Aku Anyel, Rasane Kaya Diapusi

SLEMAN (MetroIndonesia.co) – Ratu Yogyakarta, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak dapat menutupi kemasygulannya kepada pelaku usaha tambang yang melakukan praktik penambangan dengan sembrono, sehingga merugikan kelompok masyarakat lain. GKR Hemas mengungkapkan kekesalannya setelah mendapat pengaduan dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dalam kunjungannya ke Hargobinangun Selatan, Kecamatan Pakem, Sleman, DIY, Rabu (9/9/2020).

Dalam kunjungan yang dilakukan secara diam-diam itu, Permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono X didampingi Cucunya, Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo, yang pekan lalu juga melihat kerusakan di lingkungan Lereng Gunung Merapi.

“Aku ki anyel, kok rasane kaya diapusi (Saya masygul, rasanya seperti ditipu selama ini – red),” ungkap Ratu Hemas usai mendengar keluhan anggota Gapoktan di Bangsal Sompilan, Sawungan, Hargobinangun, Pakem, Sleman.

Dikutip dari Investor.id, Kepada Ratu Hemas, sebanyak 22 pengurus Gapoktan Hargobinangun Timur mengadu dan mengeluhkan air yang mereka butuhkan untuk mengairi lahan pertanian dan peternakan berlumpur akibat penambangan pasir di Kali Kuning. Dalam pertemuan itu, Lurah (Pjs) Hargobinangun Suhardiman menyampaikan, anggota kelompok tani dan masyarakat sudah beberapa minggu terakhir merasa resah karena air baku yang dialirkan dari Kali Kuning menjadi keruh dan berlumpur pekat usai turun hujan. Para anggota Gapoktan Hargobinangun Timur secara bergiliran mengaku terdampak dengan keruh dan berlumpurnya air.

Selain itu, para anggota yang seluruh hidupnya mengandalkan pertanian dan peternakan itu menyatakan sangat bergantung pada air yang mengalir dari Kali Kuning. Mereka juga mengaku, telah berusaha dan merasa kesulitan untuk mencari titik temu dengan perusahaan tambang yang beroperasi di sungai itu.

Secara keseluruhan dikatakan, luasan lahan pertanian milik warga di 12 dusun dan empat pedukuhan Hargobinangun yang terdampak mencapai 80 hektare. Selain itu, belasan hektare lahan perikanan juga mengalami endapan lumpur tebal hingga puluhan sentimeter yang berakibat , membunuh ikan budidaya warga. Kondisi itu, masih menurut warga, kian diperparah dengan mulai sulitnya air saat musim kemarau tiba. “Belum lama ini saya kunjungan, saat itu pejabat dinas melapor di hadapan Pak Bupati Sleman, katanya air di seluruh wilayah ini aman, bahkan bisa mengalir sampai Klaten. Lha ini baru berapa meter dari Merapi, untuk warga sendiri saja tidak terjamin,” ungkapnya kepada warga.

Melihat fakta tersebut, GKR Hemas mengaku dirinya merasa terlambat sepuluh tahunan karena baru melihat dengan mata kepala sendiri kerusakan yang timbul akibat kegiatan penambangan yang sembrono. “Saya sedih, rasanya saya terlambat lima atau sepuluhan tahun. Kok baru sekarang lihat sendiri kondisinya bisa begitu parah,” jelas Ratu Hemas, yang menyempatkan diri berkeliling melintasi jalan-jalan kecil di Kecamatan Cangkringan dan Pakem sebelum menghadiri pertemuan Gapoktan Hargobinangun Selatan. Tidak hanya penambangan illegal yang dikeluhkan Ratu Hemas tetapi juga penambangan legal yang dilakukan dengan serampangan. Ratu Hemas dengan mata kepala sendiri melihat dari jarak dekat penambangan oleh warga di tanah pribadi, yang sebenarnya merupakan daerah tangkapan air _(water catchment area)_. Ia juga menegaskan, air dari lereng Gunung Merapi dibutuhkan tidak hanya oleh masyarakat Sleman tetapi juga di luar Sleman. “Saya yang tinggal di Yogya juga ikut terdampak, karena wilayah ini (lereng Merapi) satu-satunya sumber aliran yang sampai ke Yogya,” ungkapnya.

Tinjau ulang izin tambang

Melihat persoalan itu, GKR Hemas yang juga Anggota DPD RI asal DIY berniat membawa persoalan kerusakan lingkungan akibat penambangan yang sembrono kepada Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. “Perizinan harus ditinjau ulang. Selama ini mungkin ada kurang data sehingga rekomendasi wilayah pertambangan bisa keluar,” ujarnya. Secara terminologi, pemerintah sudah mengubah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Tambang Galian Golongan C menjadi Tambang Batuan, melalui UU Nomor 4 Tahun 2009. Sementara, perizinan eksploitasi tambang batuan diatur dengan izin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kementerian mengeluarkan izin setelah mendapatkan rekomendasi dari pemangku wilayah. Kewenangan pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) sesuai aturan PP No 23 tahun 2010 dapat dikeluarkan oleh Kementerian ESDM untuk lintas wilayah provinsi, oleh gubernur jika dalam provinsi dan bupati/wali kota jika berada dalam satu wilayah kabupaten/kota. Ratu Hemas menyebut, kemungkinan celah sengkarut perizinan ada di level pengeluaran rekomendasi dari pemangku wilayah.

Mengingat pentingnya sumber daya air bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang, Ratu Hemas meminta masyarakat untuk bersama-sama mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan, terutama di _“water catchment area”_. “Tapi upaya apapun akan sulit kalau tidak ada dukungan masyarakat. Karena saya lihat banyak warga menambang di tanah pribadi, meskipun itu akan mengganggu proses penangkapan air,” katanya.

Sementara itu, Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo mengungkapkan dirinya cukup memahami kekesalan yang dirasakan eyang puterinya (nenek-red) tersebut. Pasalnya, cucu tertua Sultan HB X itu sebelumnya juga melihat langsung beberapa lokasi yang mengalami kerusakan. “Tidak hanya lokasi tambang, jalan yang sebetulnya jalur evakuasi juga banyak yang rusak karena bobot pengangkut pasir yang mungkin sekali melebihi tonase,” kata Marrel. Dengan menggunakan mobil berpenggerak empat roda, Marrel membawa Ratu Hemas berkeliling hingga masuk ke sungai-sungai terjal.

“Sengaja, biar Eyang Putri melihat sendiri apa yang selama ini saya temui,” katanya. Raden Mas Gustilantika Marrel Suryokusumo resah dengan kelestarian alam di lereng Gunung Merapi. Dalam kunjungan tanpa pengawalan ke sejumlah lokasi di wilayah Kecamatan Cangkringan dan Pakem itu, Marrel juga mengajak Ratu Hemas menemui sejumlah pegiat lingkungan. Marrel juga mengajak Ratu Hemas menemui Kepala Dukuh Kaliurang Timur Anggara Daniawan, pegiat isu air Bambang Kotir, dan pelaku industri jasa wisata Heri Giarto.

Pertemuan yang berlangsung tidak formal itu adalah upaya Marrel untuk memberikan gambaran utuh bagaimana sektor wisata tetap dapat memberikan dampak ekonomi tanpa mengganggu fungsi ekologi. Dalam setiap pertemuan, Marrel berpesan agar masyarakat tetap berupaya menjaga kelestarian lereng Merapi. Pasalnya, selain menopang ketersediaan air yang penting bagi pertanian dan sektor lain di Yogyakarta, Merapi juga memiliki fungsi kultural karena sebagai kota budaya, berbagai ritual keraton kerap digelar di gunung itu.

(gora_kunjana@investor.co.id)