Tragedi Duren Tiga dan bintang yang berjatuhan

Bagikan

“Kenapa kami harus dikorbankan dalam masalah ini?”

Jakarta (Metro Indonesia) – Bintang-bintang berjatuhan, melati yang berserakan, hingga puntung-puntung yang mengapung. Sepatah pitutur Kiai Mukhtar Mukti itu tampaknya tepat untuk menggambarkan situasi kepolisian kala tragedi Duren Tiga, tepatnya pembunuhan Brigadir J, mengguncang Polri.

Sosok yang dahulu dikenal dengan nama Irjen Pol. Ferdy Sambo, kini harus rela melepas dua bintang yang sempat tersemat di bahunya setelah Komisi Kode Etik Polri menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan kepada dirinya. Saat ini, Sambo berstatus sebagai terdakwa dalam kasus pembunuhan Brigadir J. Karopaminal Divpropam Polri Brigjen Polisi Hendra Kurniawan juga di-PTDH karena melakukan pelanggaran etik penyidikan kasus kematian Yosua.

Sanksi serupa juga harus dihadapi oleh Kompol Chuck Putranto (PTDH tahap banding), Kompol Baiquni Wibowo (PTDH tahap banding), Kombes Pol. Agus Nur Patria (PTDH tahap banding), dan AKBP JerryRaymond Siagian (PTDH tahap banding).

Mereka harus merelakan karier yang telah bertahun-tahun dirintis untuk pupus di tengah jalan karena dianggap tidak profesional menjalankan tugas, bahkan ada yang didakwa terlibat dalam menghalangi penyidikan atau obstruction of justice.

Semua itu bermula dari aduan Putri Candrawathi kepada suaminya, FerdySambo, tentang pelecehan seksual yang menimpa dirinya di Magelang, Jawa Tengah. Lalu kasus pembunuhan Brigadir J pun masih bergulir pada pengujung tahun 2022.

Dilansir dari ANTARA, Skenario tembak-menembak di Duren Tiga, pengungkapan kebenaran, keterlibatan puluhan personel Polri, hingga kini mencapai tahap persidangan. Nama mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (KadivPropam) Polri Ferdy Sambo pun tak henti-hentinya menghias jagat media selama 6 bulan sejak Juli 2022.

Publik akan mengingat peristiwa ini sebagai tamparan telak terhadap institusi Polri.

Sosok Brigadir J

Berbagai fakta persidangan mengungkap kepingan puzzle satu demi satu, termasuk mengenai sosok Brigadir J yang dipaparkan oleh seorang ahli psikologi forensik Reni​Kusumowardhani​.

Berdasarkan data dan informasi yang telah dihimpun lalu dianalisis, Reni menyatakan bahwa Yosua dikenal sebagai polisi yang cekatan, memiliki dedikasi, tidak pernah membantah, sigap, patuh, mampu bekerja dengan baik, dan layak untuk direkomendasikan sebagai ADC (​aide​-de-​camp​/asisten pribadi atau sekretaris dari orang berpangkat tinggi) pejabat tinggi kepolisian.

Reni juga mengungkapkan bahwa Yosua dinilai dapat bekerja dan menjalankan peran ADC dengan baik.

Akan tetapi, Reni menilai terdapat perubahan sikap Yosua setelah diberi kepercayaan sebagai kepala rumah tangga (karungga) dan sebagai ADC yang ditugaskan untuk mendampingi Putri Candrawathi.

Adapun perubahan sikap yang dimaksud oleh Reni, yakni penampilan Yosua yang terkesan lebih mewah apabila dibandingkan dengan Yosua sebelum menjadi karungga.

Yosua yang berkedudukan sebagai karungga untuk kediaman Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, memiliki tugas mengelola pengadaan rumah tangga untuk operasional di Duren Tiga, serta membantu urusan mengenai kas operasional.

“Menunjukkan power dan dominasi terhadap ADC dan perangkat rumah tangga lain, berperilaku yang dinilai adakalanya tidak selayaknya dilakukan oleh ADC,” ucap Reni.

Tragedi Duren Tiga

Ferdy Sambo mengatakan bahwa dirinya ditelepon oleh Putri Candrawathi dalam kondisi menangis pada 7 Juli 2022. Saat itu, Ferdy Sambo berada di Jakarta, sedangkan Putri Candrawathi berada di Magelang bersama Ricky Rizal (terdakwa kasus pembunuhan, seorang ajudan), Kuat Ma’ruf (terdakwa kasus pembunuhan, sopir), Richard Eliezer (terdakwa kasus pembunuhan, ajudan), Susi (ART), dan Yosua atau Brigadir J.

Putri Candrawathi, yang juga merupakan terdakwa dalam kasus ini, menceritakan bahwa Yosua baru saja berlaku kurang ajar kepada dirinya dan masuk ke kamarnya. Dalam perbincangan tersebut, Putri meminta Ferdy Sambo agar tidak mengabari siapa-siapa dan ia ingin segera kembali ke Jakarta.

Keesokan harinya, pada 8 Juli 2022, di rumah pribadi Ferdy Sambo di Saguling, Jakarta Selatan, Ferdy Sambo menerima penjelasan dari Putri Candrawathi mengenai peristiwa yang menimpanya di Magelang. Sambo menyatakan bahwa istrinya diperkosa, diancam, dan diempaskan oleh Yosua.

Sambo mengaku bahwa emosinya tersulut setelah mendengar pengakuan istrinya. Ia lalu memanggil Ricky Rizal untuk menghadap dirinya.

Berdasarkan pengakuan Sambo di persidangan, ia meminta Ricky untuk menemaninya menemui Yosua. Adapun tujuan Sambo ingin menemui Yosua adalah melakukan konfirmasi terkait keterangan dari Putri Candrawathi.

Akan tetapi, ketika Sambo meminta Ricky untuk menjadi back-up dan menembak Yosua apabila Yosua melakukan perlawanan, Ricky tidak menyanggupi permintaan tersebut. Pada akhirnya, Richard Eliezer lah yang dipanggil oleh Sambo dan Eliezer bersedia untuk melakukan penembakan.

Sesaat kemudian, mereka berpindah dari rumah pribadi Ferdy Sambo di Saguling menuju rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan. Di sana, peristiwa penembakan terjadi.

Richard Eliezer menembak Yosua di hadapan Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf, dan Ricky Rizal. Ketika menjelaskan kejadian tersebut kepada pihak penyidik, Sambo membangun skenario berupa kejadian tembak-menembak yang dipicu pelecehan seksual oleh Yosua terhadap Putri Candrawathi di Duren Tiga.

Sambo berharap, melalui skenario tersebut, ia dapat menyelamatkan Eliezer dengan dalih perlindungan diri dan melindungi orang lain, dalam hal ini, Putri Candrawathi.

Skenario ini sempat bergulir di media massa hingga kejanggalan demi kejanggalan terkuak dan menarik perhatian publik. Desakan publik pun kian menguat sehingga pihak kepolisian menjadi jauh lebih teliti dalam menangani kasus ini.

Akhirnya, pada 6 Agustus 2022, Eliezer pun menuangkan pengakuannya secara tertulis. Pada tanggal 9 Agustus 2022, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menetapkan FerdySambo, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf sebagai tersangka pembunuhan.

Perkembangan terkini

“Kenapa kami harus dikorbankan dalam masalah ini?”

Itulah pertanyaan dari eks Kasat Reskrim Polres Jakarta Selatan AKBP RidwanSoplanit ketika ia menyampaikan kesaksian di persidangan. Pertanyaan tersebut ia utarakan kepada Ferdy Sambo yang kala itu duduk sebagai terdakwa dengan didampingi para penasihat hukumnya.

Sebanyak 35 personel Polri harus menjalani sidang etik karena terlibat kasus Duren Tiga. Jumlah keterlibatan personel Polri ini menunjukkan tingginya dampak skenario Ferdy Sambo yang ia klaim bertujuan untuk melindungi Eliezer.

Hingga saat ini, sidang etik terhadap anggota Polri terkait kasus Duren Tiga belum tuntas dilaksanakan. Sejumlah anggota belum menjalani sidang etik, misalnya, BharadaRichard Eliezer Pudihang Lumiu, BripkaRicky Rizal, AKBP Arif Rahman Arifin, dan AKP Irfan Widyanto.

Di sisi lain, belasan anggota Polri telah mendapat sanksi berupa demosi hingga sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan.

Ferdy Sambo berulang kali menyampaikan bahwa rekan-rekan kepolisiannya sama sekali tidak mengetahui apa pun terkait skenario yang ia buat. Bahkan, Sambo juga mengatakan bahwa rekan-rekannya pasti merasakan tekanan psikologis ketika menangani kasus tersebut.

Sayangnya, meski telah mengaku salah dan membela rekan-rekan kepolisiannya di hadapan Komisi Kode Etik, para anggota kepolisian yang terlibat tetap mendapatkan sanksi akibat dinilai tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.

Perkara ini, baik kasus pembunuhan Brigadir J maupun kasus menghalangi penyidikan, masih bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Berbagai fakta persidangan pun menjadi tantangan tersendiri bagi para majelis hakim, lantaran keterangan yang disampaikan acapkali saling menegasikan satu sama lain.

Kasus pembunuhan Yosua yang dipicu oleh peristiwa di Magelang, Jawa Tengah, mengakibatkan guncangan hebat pada tubuh Polri. Kasus ini tidak hanya berdampak kepada mereka yang menerima sanksi, tetapi juga kepada keluarga dari masing-masing pihak.

Dengan suara yang bergetar di ujung persidangan, Ferdy Sambo mengatakan, “Saya sangat menyesal.”

Penyesalan yang tak lagi bisa menahan bintang-bintang berjatuhan, melati berserakan, dan puntung-puntung mengapung.

(Smd/MI)