Studi Terbaru: Corona Tahan Lama Meski Terpapar Suhu Tinggi    

Bagikan

MetroIndonesia.co – Virus corona (COVID-19) bisa bertahan lama di suhu tinggi. Bahkan saat didiamkan di suhu hingga 60 derajat Celcius selama satu jam, beberapa strain virus corona masih mampu melakukan replikasi.

Pernyataan mengejutkan itu merupakan hasil sebuah percobaan yang dilakukan oleh tim ilmuwan Prancis, yaitu Profesor Remi Charrel dan rekan-rekannya, di Universitas Aix-Marseille.

Sebagai informasi, suhu tertinggi yang terjadi secara alami di Bumi adalah 56,7 derajat Celcius yang tercatat di Death Valley California pada 10 Juli 1913.

Menurut South China Morning Post, dalam penelitian itu para ilmuwan menggunakan sel ginjal monyet hijau Afrika sebagai host-nya. Sementara virus corona didapat dari seorang pasien di Berlin, Jerman.

Sel-sel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang mewakili dua jenis lingkungan yang berbeda, satu bersih dan yang satunya kotor, dengan protein hewani untuk mensimulasikan penahanan biologis dalam sampel kehidupan nyata, seperti swab oral.

“Setelah pemanasan, strain virus di lingkungan yang bersih dinonaktifkan sepenuhnya. Namun, beberapa strain dalam sampel kotor bertahan.” jelas media itu, mengutip makalah non-peer-review yang dirilis oleh biorxiv.org, Sabtu (11/4/2020).

“Protokol pemanasan menghasilkan penurunan infektivitas yang jelas tetapi strain yang hidup masih cukup untuk dapat memulai putaran infeksi lain,”

Penelitian itu dilakukan oleh Charrel dan rekan-rekannya guna meningkatkan perlindungan pada petugas yang melakukan penelitian di laboratorium yang kurang terlindungi di saat permintaan untuk melakukan tes corona meningkat pesat di seluruh dunia.

“Teknisi di laboratorium ini langsung terpapar ke sampel, yang mengharuskan virus-virus itu “dinonaktifkan” sebelum diproses lebih lanjut.”

Lebih lanjut, penelitian Charrel dan rekan-rekannya menemukan bahwa memanaskan sampel hingga 92 derajat Celcius selama 15 menit dapat menonaktifkan virus sepenuhnya.

Namun, suhu tinggi seperti itu juga dapat memecah belah RNA virus dan mengurangi sensitivitas tes. Oleh karena itu para peneliti menyarankan menggunakan bahan kimia alih-alih panas untuk membunuh virus. Juga, untuk mencapai keseimbangan antara keselamatan pekerja laboratorium dan efisiensi deteksi.

“Karena sampel klinis yang dikumpulkan pada pasien tersangka COVID-19 biasanya dimanipulasi di laboratorium BSL-2, hasil yang disajikan dalam penelitian ini akan membantu untuk memilih protokol yang paling cocok untuk inaktivasi untuk mencegah paparan pada personel laboratorium yang bertugas untuk melakukan deteksi langsung dan tidak langsung dari SARS-CoV-2 untuk tujuan diagnostik,” tulis para peneliti itu.

Sementara itu, mengenai aktivitas virus dalam kehidupan nyata, para peneliti mengatakan hal itu bisa jauh lebih kompleks daripada simulasi laboratorium. Mereka juga mengatakan bahwa transmisi dari SARS-CoV-2 tidak menunjukkan tanda-tanda melemah dalam kondisi hangat dan lembab.

“Virus berperilaku sangat berbeda dengan perubahan lingkungan. Banyak penelitian yang sedang dilakukan untuk menyelesaikan teka-teki ini,” katanya.

(Sumber : CNBCIndonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *